Kamis, 07 Agustus 2008

Buku-Buku Paling Dikecam

Asosiasi Perpustakaan Amerika belum lama ini mengadakan polling seputar buku-buku yang paling dikecam di abad 21. Hasilnya cukup mencengangkan. Betapa tidak, buku serial Harry Potter karangan JK Rowling berada di urutan terdepan di kategori ini. Salah satu buku terlaris sepanjang sejarah ini dianggap banyak orang, terutama para orang tua, tidak pantas dibaca mengingat di dalamnya mengajarkan ilmu sihir pada anak-anak.

Pada daftar berikutnya ada John Steinbeck yang hasil karyanya, Of Mice and Men, diprotes karena memasukkan unsur rasisme dan kata-kata kotor dalam tulisannya. Selanjutnya terdapat nama Robert Cormier yang dituding menyebarkan paham anti-keluarga melalui buku senarai Captain Underpants yang dikarangnya.

Fenomena yang terjadi di negeri Paman Sam ini merupakan cermin dari tingginya responsibilitas (apresiasi) khalayak pembaca terhadap hasil karya seorang penulis (buku). Kita kembali diingatkan bahwa menulis buku bukan melulu perkara imajinasi dan kreatifitas belaka, namun juga harus dilandasi kesadaran bahwa sebuah buku pada akhirnya akan dikonsumsi dan dinilai oleh publik. Konsekwensinya, respons masyarakat akan menakar: apakah ia positif atau buruk untuk dibaca. Kendati tak selamanya kecaman terhadap sebuah karya menentukan laris-tidaknya buku tersebut di pasaran.

Sejarah bahkan membuktikan, ada beberapa buku yang ramai dikutuk justru kian membuat ia laku terjual. Ada keingintahuan dan rasa penasaran yang besar tatkala sebuah buku didaftarhitamkan oleh pihak tertentu. Kita masih belum lupa saat rezim Orde Lama mengubur buku-buku revolutif karya Soekarno dengan cara melarangnya untuk dijual bebas. Buku sejenis ini, antara lain Di Bawah Bendera Revolusi, makin diburu oleh khalayak meskipun harus lewat jalur pemasaran “bawah tanah”. Siasat “tiarap” acap menjadi pilihan pasar menghadapi represi yang diberlakukan pihak-pihak tertentu, termasuk penguasa. Ki Pandji Kusmin dengan karyanya, Langit Makin Mendung, layak digolongkan dalam kategori ini.

Yang jelas, persoalan kecam-mengecam buku seperti ini sebenarnya langgam lawas yang pasti akan terus berulang. Sebab, penilaian seseorang atau sebuah pihak hanyalah mewakili sentimen subyektif dan terkesan sepihak. Tergantung siapa yang menilai dan apanya yang dinilai. Dan setiap penilaian, apapun itu, sah-sah saja sejauh ia bisa dipertanggungjawabkan alasannya. Karenanya, siapapun berhak melakukan pengutukan. Dan tentu yang diharapkan adalah mengecam dengan cara yang elegan, yakni karya dilawan dengan karya. Bukan aksi pengecut yang cenderung hipokrit: mengecam karya sementara ia tak bisa berbuat apa-apa.

Fenomena yang menimpa penerbit LkiS dan sejumlah penerbit di Jogja mungkin relevan dengan konteks ini. Sejak beberapa tahun lampau, kalangan penerbit Jogja sering dicap sebagai “lumbung” dari mekarnya pemikiran sosial keagamaan yang kritis, nakal, dan kekiri-kirian. Buah pena penulis-penulis “oposisi” Timur Tengah semisal Nashr Hamid Abu Zayd, Ali Harb, Abdullahi Anna’im, Abid Aljabiri, Muhammad Syahrur, hingga Mohamed Arkoun, bisa leluasa dinikmati publik, antara lain berkat keberanian penerbit-penerbit Jogja dalam memperkenalkan cakrawala pemikiran baru ke hadapan pembaca.

Bagi sebagian pihak, terutama kalangan muslim tekstualis, upaya ini dirasa patut dikecam lantaran diartikan sebagai upaya “sekularisasi Islam”. Sementara di sebagian pihak yang lain, justru memuji hal itu sebagai dinamisasi pemikiran keislaman yang kaya warna. Sekadar contoh, buku Fiqih Lintas Agama yang oleh sebagian pihak diikhtiarkan sebagai kran pembuka dari dialog antaragama, justru divonis pihak lain sebagai “tabu” yang harus ditutup rapat.

Membincang pengecaman buku sama halnya dengan berbicara tentang kontroversi. Sebuah kontroversi menolelir munculnya dua sisi penilaian, hitam dan putih. Bergantung dari terminal pemikiran mana ia mengapresiasinya. Kecaman Taufiq Ismail terhadap maraknya karya sastra – yang ia sebut -- beraliran SMS (Sastra Mazhab Selangkangan) yang dipunggawai Hudan Hidayat, Ayu Utami, dan kawan-kawan, tentu tak akan pernah sealur dengan optik penilaian yang dipakai para penentangnya. Mereka berpandangan sastra adalah khazanah nirbatas, termasuk batas moral sekalipun. Beberapa tahun silam, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, karya fenomenal Ahmad Tohari pun tak luput dari kecaman. Sejumlah guru sekolah menilai novel sastrawan asal Banyumas ini diwarnai dengan “visualisasi” adegan mesum yang tak laik dibaca anak usia sekolah. Walaupun kita tahu, karya ini termasuk di antara karya terbaik jagad kesusasteraan nusantara. Toh, ia tak luput dari kecaman.

Awal tahun 2000-an, kejutan dibuat oleh Hartono Ahmad Jaiz. Dua seri bukunya bertajuk Bahaya Pemikiran Gus Dur: Menyakiti Hati Rakyat serta Belitan Tasawuf Iblis: Gus Dur Wali? menyentak kaum nahdliyyin. Pelbagai kecaman serta-merta dialamatkan kepada Hartono. Namun ia bergeming karena merasa apa yang ditulisnya mewakili kebenaran, paling tidak versi dirinya pribadi. Bahkan tak lama berselang ia bersama Abdurrahman Almukaffi membidani dirilisnya buku Rapot Merah Aa Gym: MQ di Penjara Tasawuf. Giliran komunitas pemuja Aa Gym yang berang dan membalas dengan buku yang menggugat balik kebenaran argumentasi Hartono cs.

Yang perlu dicermati, kecaman tak selalu berarti genta kematian bagi para penulis. Aidh Al-Qarni dulu dikecam habis oleh otoritas ulama Arab Saudi. Ia dianggap sok tahu dan masih “anak ingusan”. Namun pasar membuktikan, karya-karya Al-Qarni, antara lain La Tahzan, mampu menjadi karya terlaris di Timur Tengah. Bahkan best seller di banyak negara Islam, termasuk Indonesia.

Sekali lagi, pada batas tertentu, mengecam sebuah buku boleh saja dilakukan. Apalagi demi alasan perbaikan. Para pemerhati dan praktisi pendidikan ramai-ramai mengecam buku-buku pelajaran yang diterbitkan pemerintah pusat yang selama ini dipandang memandulkan kreasi siswa, kering, seragam, dan monoton. Tapi sampai sekarang, pemerintah tak melakukan revisi yang memadai. Untuk kemajuan, kecaman serupa ini malah harus terus digemakan.

Selama ini unsur SARA (suku, agama, dan ras), moral, pendidikan, dan seksualitas masih menjadi barometer guna mengukur responsibilitas kaum pembaca buku. Harus tertanam kehati-hatian agar penulis tak tergelincir untuk mempermainkan zona yang dianggap berbahaya, semisal batas-batas akidah. Tentu kita masih ingat buku Ayat-Ayat Setan yang dianggap melecehkan pakem keyakinan umat muslim. Jika hal ini yang terjadi, bukan hanya karyanya yang diberangus. Namun sang penulis, Salman Rushdie harus terancam kenyamanan hidupnya karena terus diburu dan dijadikan target pembunuhan.

*) Mohamad Ali Hisyam, pustakawan dan mitra mahasiswa di Universitas Trunojoyo.

_______________________________________________________________________________________


** Esai ini dimuat Di JAWAPOS Minggu 28 Juli 2008