Kamis, 17 Juli 2008
Selasa, 08 Juli 2008
Sensualitas Sepakbola
Oleh Mohamad Ali Hisyam
“Golmu sungguh sensual, Baggio...” Demikian komentar diva pop dunia, Madonna, saat menyaksikan gol tendangan bebas yang dicetak Roberto Baggio pada sebuah pertandingan di Piala Dunia 1994. Bintang timnas Italia yang kala itu berpenampilan khas rambut kuncir ala ekor kuda itu mencetak gol dengan cara menyepak bola melewati pagar betis pemain lawan. Arus deras bola melayang melengkung di udara menyerupai garis pelangi sebelum akhirnya menghunjam masuk ke gawang.
Barangkali sampai hari ini tak ada parameter baku guna menilai bagaimana sebuah gol dapat disebut seksi atau tidak. Tapi dari kaca mata penikmat dan pelaku seni, momen bergulirnya bola melewati garis gawang hingga mengoyak jaringnya, tetaplah layak diapresiasi sebagai bentuk dari karya seni yang memadukan unsur suspensi dan keindahan.
Bila ditelisik lebih dalam, komentar Madonna merupakan sebuah penghargaan terhadap karya dan kreasi seorang pesepakbola. Bagaimanapun, gol merupakan puncak dari sebuah karya yang terencana. Walau ada gol yang lahir terpaksa alias tanpa rencana, gol seperti ini tak lebih dari sebuah blunder yang merugikan (gol bunuh diri) dan bisa dibaca sebagai hasil dari skema serangan yang dirancang tim lawan. Di saat gol bunuh diri tercipta, pada waktu yang sama ada pihak yang bergembira yakni kubu lawan yang merasa bangunan serangan mereka berhasil menciptakan kepanikan yang berujung blunder.
Dalam sepakbola modern, keahlian seperti yang dimiliki Baggio dalam mengeksekusi set piece bola-bola mati sudah diduplikasi oleh banyak pemain secara kreatif dan lebih variatif. Pesohor sepakbola mutakhir, David Beckham bahkan menjadi ikon dari eksekutor tendangan bebas yang tajam sekaligus memesona. Areal yang mengitari petak penalti tak ubahnya “lahan basah” yang menjadi surga bagi para ekskutor free kick.
Bahkan akhir 1990-an, di belantika liga Seri-A sangat populer istilah “zona Del Piero” untuk menyebut areal sekitar 5 meter sebelum kotak duabelas pas. Skill seorang Alessandro Del Piero dalam mengeksekusi tendangan bebas serta-merta menjadi trade mark standard yang kemudian menjadi referensi yang harus diwaspadai bagi para pemain di barisan pertahanan. Belum lagi Juninho Penambuchano. Pemain Lyon kelahiran Brasil ini dinobatkan sebagai penendang bebas terbaik di Eropa berkat produktivitas gol yang sebagian besar dihadirkannya melalui tendangan bebas yang seksi dan mengagumkan.
Boleh dikata, sepakbola adalah bagian dari sebuah pertunjukan “orkestra” yang mensyaratkan kekompakan 22 orang pemain dalam merangkai alur simfoni. Bila kini keahlian mengolah si kulit bundar sudah menjadi cabang olahraga mandiri, yang dikenal dengan free style, maka sepakbola adalah perwujudan seni dan ujian mengolah bola yang sesungguhnya. Hanya pesepakbola handal yang mampu memeragakan keahlian ala atlet free style di lapangan hijau lantaran di sana keleluasaannya amat dibatasi oleh waktu serta gangguan pemain lawan.
Di antara sebagian seniman bola mutakhir kita bisa menyebut Ronaldinho dan Christiano Ronaldo. Keahlian dribling keduanya sungguh brilian. Kaki mereka seolah dilekati magnet yang membuat bola selalu lengket ke manapun kaki mereka menari. Setangga generasi sebelum mereka ada Zinedine Zidane yang gaya khasnya, mengecoh lawan sembari memutar badan, hingga kini belum ada tandingannya. Jika kita berputar ke era 1990-an ada Diego Maradona yang solo run-nya dari tengah lapangan melewati enam pemain lawan dan kemudian mencetak gol. Aksi si bengal pada PD 1986 ini mengantar golnya sebagai gol terbaik sepanjang masa. Sempat ada kejutan ketika Saeed Owairan, pesepakbola dari negeri “kasta ketiga” yakni Arab Saudi, mampu menduplikasi aksi Maradona kala Saudi menghadapi Belgia di PD 1994. Aksi Saeed berliku-liku melewati lima pemain tersebut juga dihargai sebagai gol terbaik PD 1994.
Di jagad bola sepak, kita juga mengenal teknik mencetak gola melalui tendangan akrobatik di udara. Orang lazim menyebutnya tendangan salto atau bicycle kick. Mantan punggawa timnas Mexico, Hugo Sanchez layak berada di barisan terdepan. Pada konteks ini, Indonesia juga patut berbangga, karena sebuah gol salto dari salah seorang pemain kita, Widodo C Putro berhasil dinobatkan sebagai gol terbaik Piala Asia 1996. Sepak bola, sekali lagi, turut diukur dari keindahan gol yang tercipta. Sejarah Piala Eropa memilih gol tendangan voli Marco van Basten dari pojok lapangan saat menundukkan Rusia di final 1984 sebagai gol terseksi sepanjang turnamen terbesar di benua biru itu digelar.
Tidak cukup hanya gol dan aksi giring bola saja, olahraga terpopuler sejagad ini juga menghadirkan keindahan yang tercipta dari sundulan kepala. Jelas bukan asal tanduk melainkan mesti terukur dari segi akurasi sasaran, ketepatan timing, serta kecepatan laju bola. Maestro dari Raja Udara ini siapa lagi kalau bukan Oliver Bierhoff dan penerusnya di Tim Panser, Miroslav Klose. Kedua pemain Bavaria ini rajin menabung gol yang sebagian besar berasal dari ketajaman tandukannya.
Sepakbola seksi tentu bukan monopili penyerang. Penyelamatan gemilang seorang penjaga gawang, menurut saya juga layak dimasukkan dalam kategori ini. Lihatlah aksi memukau Gianluigi Buffon ketika menghalau penalti Adrian Mutu di partai terakhir grup C Euro kali ini. Tangan dan kaki Buffon berkolaborasi dalam sekali hentakan refleks sehingga tandangan Mutu menjauh dari sasaran. Ayunan spontan dari kaki Iker Casillas juga begitu piawai menghadang tusukan Mauro Camoranesi pada laga Spanyol-Itali di perempatfinal.
Resi dari kiper dunia tentu adalah Rene Higuita. Kiper nyentrik timnas Kolumbia ini adalah sebuah fenomena yang amat langka. Bukan hanya lihai menyerang dan mencetak gol, sebagai kiper, pemilik rambut gondrong kribo ini juga sering memeragakan aksi penyelamatan yang luar biasa nyleneh dan “tak masuk akal”. Bayangkan, ia pernah menggagalkan gol dengan cara seperti kalajengking terbang. Sambil membelakangi arah bola, tubuhnya melayang di udara dan kakinya tertekuk ke atas menghadang laju bola. Gol yang sudah di depan mata, akhirnya gagal tercipta.
Alhasil, sejumlah fenomena di atas membuktikan bahwa sepakbola tak ubahnya pentas seni, yang di mata sebagian penikmatnya, terasa sensual. Sepaknola tidak saja memamerkan sensualitas ragawi dari (fisik) pemainnya. Sensualitas semacam ini mudah luntur dikikis waktu. Walaupun tentu sah-sah belaka jika banyak kaum hawa, yang mendukung sebuah tim hanya karena berpunggawa seksi dan perkasa. Tanyakan pada sejumlah artis kita, mereka akan menyematkan kekagumannya pada tim-tim dengan penampilan fisik memesona seperti Italia, Spanyol, atau Argentina.
Sebagai kreasi seni, permainan sepakbola merangkum beragam unsur, antara lain drama (hiburan yang mengaduk emosi), suspensi (kejutan yang menegangkan urat syaraf), seni (keindahan estetika), serta etika (kesudian mematuhi sportivitas). Pelbagai unsur tersebut mengalir, berpadu, dan saling pacu menuju sebuah titik klimaks berupa bersarangnya bola ke dalam gawang. Gol.
Strategi pelatih dan apresiasi penontonlah yang pada akhirnya menentukan indah tidaknya sebuah permainan. Lahirlah kemudian istilah jogo bonito ala Brazil dan Portugal, total football milik Belanda, ataupun cattenaccio khas Itali. Bukan tanpa alasan pula jika publik bola pernah menjuluki Andreas Moeller sebagai “Mozart”nya sepakbola. Dirigen timnas Jerman dan Borussia Dortmund ini mewakili sosok keindahan sebuah permainan.
Selain keindahan, di sepakbola ada juga keberuntungan. Keduanya bisa diciptakan. Keberuntungan mustahil hadir tanpa adanya talenta yang ditajamkan, taktik yang direncanakan, serta skema yang dijalankan. Kata Denzel Washington, keberuntungan adalah perjumpaan antara kesempatan dan matangnya persiapan. Akhirnya, Sepakbola itu indah, dan keindahan itu seksi. Setidaknya menurut Madonna. Bagaimana menurut Anda?
Mohamad Ali Hisyam, Dosen muda, penikmat bola
Lentera Para Tunanetra
Oleh Mohamad Ali Hisyam
Selain Barack Obama, salah seorang figur anyar yang dalam beberapa pekan terakhir menyita perhatian publik negeri Paman Sam adalah sosok David Paterson. Kemunculan gubernur
Kisah hidup
Bila secara personal saja seorang tunanetra dapat menunjukkan prestasinya, apalagi jika ia tergabung dalam sebuah wadah komunitas yang menampung kesamaan visi, emosi, serta energi untuk saling berbagi. Keteguhan komunal semacam inilah yang mewujud sebagai ruh dari yayasan Mitranetra Jakarta, sebuah komunitas kaum tunanetra yang berusaha menghimpun potensi berikut kekuatan sosial guna menunjukkan bahwa cacat fisik bukanlah halangan untuk menebar kebajikan. Salah satu program kepedulian mereka yang mendapat sambutan luas adalah “Gerakan 1001 Buku untuk Tunanetra.”
Irwan Dwi Kustanto, salah seorang perintis Mitranetra adalah sepotong contoh dari banyaknya kalangan tunanetra yang akrab dengan dunia pustaka. Irwan yang kni ditunjuk sebagai wakil direktur yayasan tersebut, tidak saja bergaul karib dengan buku (baik dibacakan oleh temannya maupun membacanya sendiri dengan bantuan sistem Braille), ayah dari tiga anak ini pun mampu menuntaskan pendidikan sarjananya di UIN Jakarta. Istimewanya, ia bahkan telah menelurkan sebuah antologi puisi bertajuk Dan Anginpun Berbisik.
Bagi Irwan dan kawan-kawannya, keterbatasan biologis justru dijadikan pelecut guna menjelajah dunia ilmu pengetahuan melalui media pustaka serta sarana teknologi. Kekuranglengkapan fisik berhasil ditembus dengan tajamnya rasa dan kepekaan yang berpendar dari hati dan nurani mereka. Istilahnya, mereka membaca, menulis, dan berbuat dengan rasa dan kepekaan hati, lalu menularkannya dengan empati. Apalah artinya karunia kelengkapan fisik bila ia hanya dibiarkan sia-sia, bahkan secara sadar lambat laun secara massif potensi positifnya kita tumpulkan. Mentalitas guna selalu memberikan yang terbaik justru kini serupa “pusaka” yang langka dijumpai pada kebanyakan manusia dengan indera yang sempurna.
Langkanya mental juara seperti ini pulalah yang coba dicontohkan oleh Wacih Kurnaesih. Perempuan paro baya dari Tatar Sunda ini merupakan teladan yang amat patut dicontoh siapapun. Betapa tidak, dibantu sang suami (yang juga seorang tunanetra), Wacih sangat telaten menulis, menghimpun gagasan-gagasan yang berserakan dan menuangkannya lewat tulisan. Puluhan artikel dan buku ilmiah ia hasilkan. Beberapa di antaranya sukses mengantarnya sebagai juara di sejumlah sayembara kepenulisan mengalahkan banyak pesaingnya, termasuk orang-orang yang merasa panca inderanya lebih lengkap darinya.
Episode kehidupan yang disuguhkan sejumlah tunanetra di atas terasa sungguh menggugah dan menggetarkan. Jika selama ini mata kerap diibaratkan layaknya jendela bagi siapa yang hendak menatap indahnya dunia, bagi para tunanetra mata tak lebih sebuah penanda yang bila gagal difungsikan ia tetap tak menyodorkan banyak makna. Bagi mereka, lentera sebenarnya adalah kepekaan rasa yang bila ia dipelihara pasti akan mampu berpendar menebar cahaya. Semoga insan yang awas, dengan belajar pada realitas semacam ini, bisa kian sadar dan kemudian tergugah guna lebih mengoptimalkan segenap pontensi inderanya ke arah yang positif dan kontributif.
Dalam buku Kisah Mata, Seno Gumira Ajidarma pernah menusuk kesadaran kita dengan tesisnya bahwa alam dengan segala kilau warnanya merupakan objek yang mesti ditulis dan dilukis oleh manusia. Dan, mata merupakan lensa pertama dan terbaik untuk melakukannya. Dari kesadaran akan pentingnya fungsi mata, dunia secara gemilang melahirkan peranti ilmu baca-tulis, seni, serta fotografi.
Mengutip sepenggal ayat Al-Qur’an, grup musik Bimbo pernah menyindir fenomena ini dengan menyerupakan manusia yang lalai mendayagunakan potensi inderawinya sebagai tak ubahnya “bermata tapi tak melihat.” Dr. Qurasih Shihab pun pernah berpesan supaya kita tak membiarkan “lentera jatuh ke tangan pencuri.” Lentera yang dimaksud di sini adalah kesadaran manusia dalam memanfaatkan potensi setiap indera. Tuhan menciptakan semesta serta lautan aksara agar mata dan rasa dalam diri manusia itu peka. Namun banyak di antara kita yang tak sepenuh hati menyadarinya. Karenanya, mungkin memang saatnya kita belajar banyak hal, termasuk pada orang buta. []
*) Mohamad Ali Hisyam,
mitra mahasiswa di Universitas Trunojoyo, bergiat di Balai Buku Bangkalan (3B).