Selasa, 08 Juli 2008

Lentera Para Tunanetra



Oleh Mohamad Ali Hisyam

Selain Barack Obama, salah seorang figur anyar yang dalam beberapa pekan terakhir menyita perhatian publik negeri Paman Sam adalah sosok David Paterson. Kemunculan gubernur New York terpilih ini mengukir rekor sejarah baru. Ia bukan saja gubernur kulit hitam pertama dalam belantika politik AS, namun ia juga merupakan wakil dari kalangan tunanetra yang pertama kali mampu menduduki jabatan politik tertinggi selama ini. Paterson didaulat sebagai pimpinan tertinggi provinsi setelah pendahulunya, Eliot Spitzer terguling paksa akibat skandal seks.

Kisah hidup Paterson tersebut menjadi mozaik menarik dari dinamika kehidupan seorang yang cacat mata (tunanetra). Seiring zaman, para tunanetra kini sudah tak minder dan tak merasa kecil hati lagi menyumbangkan kontribusi positif bagi masyarakat. Kepercayaan diri untuk mengerahkan kemampuan dan talenta menjadi bukti bahwa mereka tetap bisa berkarya sebagaimana layaknya khalayak normal lainnya. Bahkan, pada kadar tertentu, kemampuan mereka tak jarang mengungguli kemampuan manusia yang berindera lengkap.

Bila secara personal saja seorang tunanetra dapat menunjukkan prestasinya, apalagi jika ia tergabung dalam sebuah wadah komunitas yang menampung kesamaan visi, emosi, serta energi untuk saling berbagi. Keteguhan komunal semacam inilah yang mewujud sebagai ruh dari yayasan Mitranetra Jakarta, sebuah komunitas kaum tunanetra yang berusaha menghimpun potensi berikut kekuatan sosial guna menunjukkan bahwa cacat fisik bukanlah halangan untuk menebar kebajikan. Salah satu program kepedulian mereka yang mendapat sambutan luas adalah “Gerakan 1001 Buku untuk Tunanetra.”

Irwan Dwi Kustanto, salah seorang perintis Mitranetra adalah sepotong contoh dari banyaknya kalangan tunanetra yang akrab dengan dunia pustaka. Irwan yang kni ditunjuk sebagai wakil direktur yayasan tersebut, tidak saja bergaul karib dengan buku (baik dibacakan oleh temannya maupun membacanya sendiri dengan bantuan sistem Braille), ayah dari tiga anak ini pun mampu menuntaskan pendidikan sarjananya di UIN Jakarta. Istimewanya, ia bahkan telah menelurkan sebuah antologi puisi bertajuk Dan Anginpun Berbisik.

Bagi Irwan dan kawan-kawannya, keterbatasan biologis justru dijadikan pelecut guna menjelajah dunia ilmu pengetahuan melalui media pustaka serta sarana teknologi. Kekuranglengkapan fisik berhasil ditembus dengan tajamnya rasa dan kepekaan yang berpendar dari hati dan nurani mereka. Istilahnya, mereka membaca, menulis, dan berbuat dengan rasa dan kepekaan hati, lalu menularkannya dengan empati. Apalah artinya karunia kelengkapan fisik bila ia hanya dibiarkan sia-sia, bahkan secara sadar lambat laun secara massif potensi positifnya kita tumpulkan. Mentalitas guna selalu memberikan yang terbaik justru kini serupa “pusaka” yang langka dijumpai pada kebanyakan manusia dengan indera yang sempurna.

Langkanya mental juara seperti ini pulalah yang coba dicontohkan oleh Wacih Kurnaesih. Perempuan paro baya dari Tatar Sunda ini merupakan teladan yang amat patut dicontoh siapapun. Betapa tidak, dibantu sang suami (yang juga seorang tunanetra), Wacih sangat telaten menulis, menghimpun gagasan-gagasan yang berserakan dan menuangkannya lewat tulisan. Puluhan artikel dan buku ilmiah ia hasilkan. Beberapa di antaranya sukses mengantarnya sebagai juara di sejumlah sayembara kepenulisan mengalahkan banyak pesaingnya, termasuk orang-orang yang merasa panca inderanya lebih lengkap darinya.

Episode kehidupan yang disuguhkan sejumlah tunanetra di atas terasa sungguh menggugah dan menggetarkan. Jika selama ini mata kerap diibaratkan layaknya jendela bagi siapa yang hendak menatap indahnya dunia, bagi para tunanetra mata tak lebih sebuah penanda yang bila gagal difungsikan ia tetap tak menyodorkan banyak makna. Bagi mereka, lentera sebenarnya adalah kepekaan rasa yang bila ia dipelihara pasti akan mampu berpendar menebar cahaya. Semoga insan yang awas, dengan belajar pada realitas semacam ini, bisa kian sadar dan kemudian tergugah guna lebih mengoptimalkan segenap pontensi inderanya ke arah yang positif dan kontributif.

Dalam buku Kisah Mata, Seno Gumira Ajidarma pernah menusuk kesadaran kita dengan tesisnya bahwa alam dengan segala kilau warnanya merupakan objek yang mesti ditulis dan dilukis oleh manusia. Dan, mata merupakan lensa pertama dan terbaik untuk melakukannya. Dari kesadaran akan pentingnya fungsi mata, dunia secara gemilang melahirkan peranti ilmu baca-tulis, seni, serta fotografi.

Mengutip sepenggal ayat Al-Qur’an, grup musik Bimbo pernah menyindir fenomena ini dengan menyerupakan manusia yang lalai mendayagunakan potensi inderawinya sebagai tak ubahnya “bermata tapi tak melihat.” Dr. Qurasih Shihab pun pernah berpesan supaya kita tak membiarkan “lentera jatuh ke tangan pencuri.” Lentera yang dimaksud di sini adalah kesadaran manusia dalam memanfaatkan potensi setiap indera. Tuhan menciptakan semesta serta lautan aksara agar mata dan rasa dalam diri manusia itu peka. Namun banyak di antara kita yang tak sepenuh hati menyadarinya. Karenanya, mungkin memang saatnya kita belajar banyak hal, termasuk pada orang buta. []


*) Mohamad Ali Hisyam,

mitra mahasiswa di Universitas Trunojoyo, bergiat di Balai Buku Bangkalan (3B).

Tidak ada komentar: