Selasa, 17 Juni 2008

NU Menghadapi Liberalisme Ekonomi

Tak ada siapapun yang membantah bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan komunitas sosial kemasyarakatan terbesar di negeri ini. Sebagai Ormas dengan jumlah (kuantitas) pengikut terbesar seperti ini, modal sosial NU untuk memberikan banyak kontibusi bagi pembangunan bangsa, di atas kertas, sebenarnya cukup kuat.

Tapi, siapa pula yang bisa membantah bahwa dengan kebesarannya tersebut, NU justru seakan tampak serupa tubuh bongsor seorang “anak kecil”? Perumpamaan anak kecil di sini terasa cukup tepat manakala kita melihat realitas mutakhir yang dengan jelas menggambarkan ketidakdewasaan sejumlah elit NU, terutama ketika bermain di kancah politik. Kebesaran tubuh NU ternyata tak sebanding dan tak diimbangi dengan kedewasaan mental dan kebesaran sikap, terutama para elitnya, dalam mengarungi kehidupan sosial politik yang penuh intrik dan konflik.

Fenomena perpecahan di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) – yang seringkali disebut dengan bangga sebagai anak kandung sah dari NU – saat ini adalah fakta gamblang dari makin lunturnya soliditas serta solidaritas yang terbangun di internal orang-orang nahdliyyin. Hal itu terjadi lantaran kerasnya segregasi perebutan kepentingan dan kekuasaan instan yang, sekali lagi, diakibatkan oleh belum kunjung dewasanya paradigma pemikiran para pemuka NU. Bila selama ini ada kecurigaan, bahkan mengarah pada tuduhan, yang menyebutkan keterlibatan eksternal NU sebagai biang di balik segala perpecahan, maka boleh dikata, kekompakan dan kekebalan tubuh NU berada dalam taraf yang memprihatinkan.

Laksana tubuh, imunitas mereka amat rentan dan mudah “masuk angin” terserang virus penyakit. Artinya, jika kesolidan dan kesatuan visi sudah terbangun dan terpelihara dengan kokoh, ancaman apapun baik internal maupun eksternal tentu bakal menjadi lebih mudah ditanggulangi. Mencari-cari kambing hitam dari pihak luar tak lain hanyalah bukti dari tipisnya kepercayaan diri.

Liberalisme Ekonomi

Bukan hanya di bidang politik, di sektor ekonomi pun kader NU amat mudah digerogoti dan dimanfaatkan oleh pihak luar. Kuantitas mereka bersifat defensif sehingga harus rela terposisikan sebagai konsumen yang lebih banyak menerima daripada memberi. Buku NU dan Neoliberalisme : Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad yang ditulis oleh Nurkhalik Ridwan ini melukiskan dengan kongkret dan saksama bagaimana dan sejauh apa panorama buram yang kini menyelimuti konstelasi sosial politik dan ekonomi warga NU. Sebagai salah seorang kader muda NU, Nurkhalik secara lugas dan (terkesan) “menggebu-gebu” mencoba memetakan sejumlah persoalan kronis yang berjangkit di tubuh NU guna kemudian menawarkan beberapa solusi strategis yang mungkin bisa ditempuh ke depan.

Menurut Nurkhalik, dinamika perekonomian dunia global saat ini adalah tantangan paling nyata yang harus direspons NU secara serius. Jamaah nahdliyyin sebagian besar merupakan kelompok komunitas agraris, yakni antara lain kaum pinggiran kota serta masyarakat yang berdomisili di pedesaan. Secara riil mereka membutuhkan ayoman dari NU yang secara organisasi merupakan induk semangnya. Ancaman paling dekat adalah kian bebasnya pola perekonomian yang dianut masyarakat ekonomi modern. Paham kebebasan (liberalisme) nyaris menjadi ideologi tunggal yang kini mendominasi dunia. Pasca ambruknya komunisme dan sosialisme, kendali perekonomian global dipegang mutlak oleh kapitalisme liberal.

Meski sempat limbung selama beberapa tahun, namun kini liberalisme bangkit kembali dalam bentuknya yang baru. Pelaku ekonomi kerap menyebutnya dengan istilah neoliberalisme. Menurut Mansour Fakih (2002), neoliberalisme dapat diartikan sebagai sebuah mazhab besar ekonomi yang semata memperjuangkan laissez faire (persaingan bebas) dalam hak-hak kepemilikan oleh individu.

Paradigma ekonomi neolib ini dikembangkan secara massal dan modern oleh dua tokohnya yang tersohor yakni Friedrich von Hayek dan Milton Friedman. Ekonomi neolib terutama di negara-negara maju kemudian melaju demikian pesat menjadi raksasa yang menguasai segala lini perekonomian. Bagi negara kecil dan berkembang, neolib juga tak lupa memberi “remah-remah” dari sisa-sisa pembangunan transnasional yang telah mereka pancangkan dan mungkin masih bisa dipungut. Selebihnya, ia tak ubahnya monster dan buldozer yang dengan culas menggilas kekuatan-kekuatan ekonomi rakyat kecil yang miskin modal.

Potensi Kader Muda

Basis massa NU yang mayoritas rakyat kecil serta-merta turut menjadi korban. Salah satu cara yang mesti ditempuh oleh NU, dalam pandangan Nurkhalik, adalah memperkuat fondasi pemikiran dan rencana tindakan dari para kader mudanya. Karena merekalah yang nantinya akan menjadi pasukan utama yang harus siap bertarung di tengah gelanggang. Setidaknya sampai saat ini, gambaran tentang generasi muda NU dapat diiris secara general menjadi tiga bagian besar. Pertama, kelompok yang setia berkhidmah di NU struktural. Kedua, faksi elit muda yang gemar berpolitik praktis. Ketiga, kubu anak muda yang senang terjun dalam Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO (Non Goverment Organization).

Ketiga faksi ini diharapkan bersatu dan bisa saling bahu-membahu dengan sinergis guna mewujudkan salah satu visi asasi NU yakni sebagai pelayan bagi masyarakat dalam arti yang sebenarnya. Mereka harus sigap membuka ruang yang selama ini sempit, untuk memuluskan aspirasi seluruh komunitas nahdliyyin yang kian hari semakin bertambah. Dibutuhkan sikap sosial yang aktif dan kreatif dengan cara membenahi basis mental yang cenderung menafsirkan ajaran agama secara parsial dan dangkal. Sementara di luar itu, diperlukan keberanian dan kemampuan untuk menggunakan tata manajemen ekonomi modern agar mampu bersaing memperebutkan kesempatan serta pangsa pasar.

Seluruh elemen nahdliyyin haruslah mulai sadar diri bahwa usia ormas mereka sudah menjelang satu abad. Artinya, setua itu pulalah usia dari harapan para pendiri NU untuk segera melihat ormas rintisannya menaburkan kontribusi positif bagi rakyat, paling tidak bagi jamaahnya dalam wujud yang faktual. Karenanya, sejumlah fenomena kusam dan hambatan-hambata yang telah dipaparkan di muka, tidak cukup hanya dijadikan bahan permenungan yang disikapi secara reaktif-pasif. Lebih dari itu, harus ada kesadaran by designed berupa sikap serius serta reformulasi konsep yang matang dan aplikatif untuk mengatasinya.

Jika tidak, maka siap-siaplah masyarakat NU untuk selalu terpinggirkan dan menambah panjang daftar sindroma kekalahan mereka yang senantiasa berulang sepanjang sejarah. Dengan demikian, sama halnya dengan mempersilahkan siapapun dan pihak manapun, termasuk neolib, menjadi kekuatan dan lawan yang sewaktu-waktu mudah menelikung memanfaatkan potensi besar NU tanpa sama sekali menghadiahkan manfaat bagi mereka. Tentu jamaah NU tak ingin berhadapan dengan kenyataan bahwa NU memang selalu ditakdirkan untuk menyerah dan pasrah menjadi objek eksploitasi dari berbagai pihak dan beragama kepentingan.

Judul Buku : NU dan Neoliberalisme : Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad

Penulis : Nurkhalik Ridwan

Penerbit : LkiS Yogyakarta

Cetakan : I, Februari 2008

Tebal : xix + 204 halaman (termasuk indeks)



Mohamad Ali Hisyam,

Pengajar Universitas Trunojoyo, peneliti Pusat Studi Peradaban dan Agama (Puspa) Surabaya


Resensi ini dimuat di harian nasional SEPUTAR INDONESIA, 15 Juni 2008


______________________________________________________

1 komentar:

Anonim mengatakan...

jangan lupakan sensual free kick Alessandro Del Piero kala Juve menyingkirkan AS Monaco di semi final Liga Champions 1997/98...