Selasa, 17 Juni 2008

Bertegur Sapa dengan Cak Nur (Sebuah Perkenalan Imajiner)

Saya berkenalan secara intelektual (imajiner) dengan Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) sekitar awal 1990-an, saat usia saya mulai beranjak dewasa. Pada saat ketika saya bersiap memasuki bangku Sekolah Menengah Atas tersebut, saya pertama kali mengenal sosok Cak Nur melalui lembar-lembar gagasan yang di tawarkan dalam sejumlah tulisannya. Beruntung saya punya kakak seorang kutu buku. Ia tekun menghimpun banyak buku di perpustakaan pribadinya yang mungil di sudut rumah kami. Termasuk beberapa karya Cak Nur.

Figur Cak Nur pun mulai berhasil menghipnotis kesadaran saya bahwa ternyata ada cendikiawan Indonesia yang mampu mendokumentasikan pemikiran-pemikiran cemerlangnya dengan rapi dan memukau. Apalagi kala saya mulai membaca banyak buku keislaman yang lain, hampir semuanya memajang nama Cak Nur sebagai salah satu referensi dan kutipan di dalamnya. Manifesto keilmuan beliau yang tersohor, “Islam Yes, Partai Politk Islam No!” menjadi pemantik dari bangkitnya geliat intelektual kaum Islam modernis di Indonesia.

Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru (baca: pembaruan) yang disebut "neo-modernisme". Sosok Cak Nur kemudian dinobatkan publik sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari. Hingga hari ini, kurang lebih 35 tahun setelahnya, gerakan pemikiran model ini kian berkibar dan mendapat tempat dalam konstelasi keilmuan Islam di tanah air. Ciri khas yang dapat ditangkap dari aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam) dalam bentuknya yang substansial. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma holistik yang otentik dengan tetap berpijak pada akar tradisi. Ia tidak mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang ditimbulkannya.

Saat saya hendak memasuki bangku perkuliahan, sosok Cak Nur semakin melekat dalam ruang obsesi dan imajinasi yang secara sadar saya ciptakan sendiri. Saya ingin menjadi intelektual seperti beliau. Paling tidak mampu menata dan mengembangkan nalar kritis sebagaimana dicontohkannya. Saya pun memilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai wadah pengembangan pemikiran saya di awal masa kuliah, tidak lain karena alasan di atas. Ketika saya ditawari masuk HMI, benak saya langsung tertuju pada wajah teduh Cak Nur. Sebagai mantan ketua umum PB HMI, ia menjelma magnet yang kian mengukuhkan pertimbangan saya untuk serius meniti karier keilmuan di HMI. Paling tidak, meski tak mungkin seperti Cak Nur, minimal tangga pengkaderan yang kita lalui sama. Begitulah pertimbangan sederhana saya waktu itu. Sehingga walaupun secara kultural saya orang pesantren (tradisionalis) yang semestinya bergabung dengan sahabat-sahabat mahasiswa yang se-aliran (non-HMI), tapi tekad saya tetap tak terbendung.

Sampai pada suatu waktu, saya berkesempatan bertemu langsung dengan idola saya itu. Kurang lebih saya masih semester tiga, saat kampus saya mengundang Cak Nur untuk berorasi dalam acara Orasi Ilmiah yang dipusatkan di kota Wonosobo, sebuah kota dingin yang terletak di jantung Jawa Tengah, tempat saya menghabiskan empat tahun masa kuliah. Aula besar di samping alun-alun kota Wonosobo menjadi saksi historis dari pertemuan langsung saya dengan Cak Nur. Itulah kesempatan langka saya untuk mengamatinya dari dekat, dari jarak hanya beberapa meter. Seperti saat beliau memaparkan gagasannya di televisi (sarana perkenalan saya secara audio-visual dengan Cak Nur), beliau dengan bersahaja mengurai banyak hal secara runtut, teratur dan santun. Tutur katanya lembut, bahasanya halus dibalut dengan senyum yang terus merekah. Tak lupa beberapa joke ringan, ia selipkan sebagai selingan. Seusai acara, saya pun rela berjubel dengan pengunjung lain untuk berebut kesempatan bisa bersalaman dengan beliau. Ada kelegaan seperti orang yang baru saja menuntaskan dahaga, saat tangan kanan saya bersentuhan dan bergenggaman erat dengan tangan kanannya. Persis seperti seorang fans yang takjub berjumpa dengan sang idola.

Selama empat tahun kuliah, nama Cak Nur seperti menu wajib yang selalu saya kutip dalam setiap literatur makalah-makalah perkuliahan. Dan siapapun mafhum, bila hendak membahas perihal dinamika keilmuan Islam di Indonesia, Nurcholish Madjid adalah entry pertama dan utama yang paling disering dikutip sebagai rujukan. Seiring waktu, perkekanalan intelektual saya dengan Cak Nur kian akrab. Hingga saya memutuskan melanjutkan kuliah ke jenjang S-2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tiga tahun di kota Gudeg ini merupakan masa-masa indah yang sukar dilupakan. Saya harus membiayai hidup dan ongkos perkuliahan saya dengan biaya sendiri. Menulis artikel ke sejumlah media adalah opsi pragmatis sekaligus idealis yang kemudian mampu mengendalikan nafas hidup selama di sana. Dan, sekali lagi, nama Cak Nur adalah referensi penting dari ratusan tulisan yang saya kirimkan ke berbagai media.

Pada sebuah kesempatan di awal 2003, saya mendapatkan sebuah buku baru tentang Cak Nur, yakni buku Gagasan Nurcholish Madjid Neo Modernisme Islam Dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan yang ditulis oleh M. Deden Ridwan. Buku ini langsung saya lahap sampai habis. Dari situ, saya menjadi lebih tahu lika-liku perjalanan idealisme Cak Nur hingga kelak ia menjadi embrio dari pembaharuan Islam di negeri ini. Bahwa pers atau media massa (dalam hal ini Tempo) mampu menjelma sebagai kemasan sekaligus penyambung lidah dari gagasan-gagasan brilian Cak Nur adalah latar sejarah (historical setting) yang menyebabkan gerakan pembaruan Cak Nur ini bisa demikian membumi dan diminati masyarakat. Gurita pemikiran inklusif ala Cak Nur dipasarkan oleh media (terutama Tempo) secara massif, komunikatif dan efektif.

Buku ini bukan hanya saya baca, namun berusaha saya resensi dan dikirimkan ke media guna menambah saldo penghasilan dari menulis. Sebuah kejutan luar biasa bagi saya ketika resensi tersebut akhirnya dimuat oleh Koran Tempo. Kegembiraan saya bukan hanya disebabkan karena saya, paling tidak, telah turut memperkenalkan pemikiran Cak Nur berikut latar historis yang menyertainya ke hadapan khalayak pembaca. Di luar itu, saya gembira karena resensi tersebut merupakan tulisan pertama saya yang dimuat oleh Tempo Group. Bagi saya, media massa yang bernaung di bawah bendera Grup Tempo, hingga hari ini, adalah yang terbaik dalam hal penyajian jurnalisme yang sastrawi dan memikat. Kehormatan besar jika tulisan seorang penulis pemula seperti saya waktu itu bisa dimuat di media sekaliber Koran Tempo.

Ada dua premis ilmiah yang pernah dilontarkan Cak Nur yang mampu menjadi suluh dan pemantik semangat saya dalam menekuni dunia keilmuan dan pendidikan. Pertama, premis beliau bahwa “Seandainya tak ada kolonialisme di nusantara ini, pendidikan pesantren akan menjadi model utama dari dunia pendidikan di Indonesia.” Bagi saya sebagai insan yang pernah lama dibesarkan di pesantren, kesimpulan ini serta-merta menguatkan optimisme serta keyakinan bahwa pendidikan ala pesantren masih tetap akan diminati oleh banyak orang. Di tengah kapitalisme dan globalisasi dunia pendidikan, pesantren tetaplah kawah ideal bagi pembinaan moral dan intelektual di tengah masyarakat.

Premis Cak Nur yang kedua adalah harapan bahwa “Di abad 21 ini, paras Islam yang paling santun dan harmonis di dunia akan lahir dari Indonesia.” Pernyataan bernada optimis ini terlontar jauh-jauh hari sebelum Cak Nur wafat, atau beberapa tahun sebelum hadirnya abad milenium. Bagi saya, harapan ini menjadi tantangan sekaligus kegundahan yang tak berkesudahan. Alih-alih membenarkan premis di atas, wajah Islam Indonesia kini menjadi potret buram dari dinamika kehidupan masyarakat dunia. Tragedi demi tragedi kemanusiaan yang memakan banyak korban (lebih-lebih peristiwa Bom Bali pada tahun 2002) hanya menyuguhkan “rapor merah” yang melengkapi bukti kemunduran dan stagnasi peradaban keislaman di Indonesia. Negeri ini yang menjadi pemasok terbesar dari jumlah penduduk muslim dunia, lebih sering menyodorkan arang belang yang menodai paras keelokan Islam. Walaupun demikian, premis Cak nur ini sampai kapanpun semestinya dijadikan sebagai tantangan oleh muslim Indonesia guna menata peradaban Islam ke arah yang lebih humanis dan dinamis.

Sejumlah buku Cak Nur, antara lain Islam, Doktrin dan Peradaban, Pintu-pintu Menuju Tuhan serta Bilik-bilik Pesantren, menjadi semacam rakit inspirasi yang saya gunakan dalam mengarungi arus deras pemikiran Islam modern. Sebagai pendidik, saya mustahil mengabaikan akar sejarah dari pondasi bangunan intelektual Islam Indonesia yang salah satunya dibangun oleh Cak Nur. Lebih-lebih buku Bilik-bilik Pesantren yang menjadi inspirasi positif bagi saya untuk terus menggemakan pelbagai perubahan pada paradigma keilmuan di pesantren. Kendati buku ini sempat menuai kecaman dari sejumlah Kiai dan masyarakat pesantren, karena dianggap “menelanjangi” pondok pesantren, namun bagi saya, sepahit apapun realitas yang digambarkan oleh orang tetaplah akan menjadi jamu yang menyehatkan. Paling tidak untuk menyadarkan insan pesantren agar senantiasa terbuka terhadap perubahan serta tidak terlampau melihat ke dalam (inward looking). Membangun pesantren tak selalu dengan cara mengungkit-ungkit sisi positif yang dimilikinya, akan tetapi juga bisa dengan jalan mengorek noda-noda negatif di dalamnya untuk selanjutnya dievaluasi dan dibenahi dengan baik.

28 Agustus 2005 adalah hari yang membahagiakan dalam hidup saya. Hari itu saya diwisuda sebagai Magister. Sahabat dan kerabat berkumpul di sekeliling Aula UIN Yogyakarta untuk turut merayakan penobatan bersejarah tersebut. Saya tengah di dalam mobil melakukan perjalanan untuk sebuah acara keluarga, ketika pada keesokan harinya, tepat 29 Agustus 2005, saya mendengar kabar yang mengejutkan dan menyesakkan dada. Cak Nur wafat. Kabar duka yang saya terima dari loper koran di sebuah perempatan jalan antara Yogyakarta-Magelang itu tak ubahnya petir di siang hari. Hari itu, halimun seolah diselimuti mendung yang kelabu.

Satu hal yang langsung membayang di benak saya setelah berita pilu itu : Bisakah gagasan-gagasan pembaruan Cak Nur dilanjutkan oleh generasi yang datang kemudian? Bila ide-ide yang terdokumentasi rapi dalam lembaran buku-buku karya Cak Nur dibaca sebagai sebuah impian yang belum selesai, siapakah kiranya sosok intelektual yang dapat menggantikan perannya? Paling tidak, menjadi penyambung lidah dari optimisme dan impiannya tentang Indonesia baru yang berparas santun dan menyejukkan?

Roda Mobil yang saya tumpangi waktu itu seperti berhenti. Di luar kaca, segumpalan awan hitam tampak berarak terbawa angin kemarau. Dalam hati saya bergumam, kendati Cak Nur telah mati, perkenalan akrab ini tetap tak boleh berhenti. Lamat-lamat saya teringat ungkapan Goenawan Mohamad yang dengan teduh melukiskan figur Cak Nur : “…Setiap kali saya mendengarkan Nurcholish Madjid, setiap kali saya merasa ada yang terselamatkan dalam iman saya : Tuhan yang Esa itu adalah Tuhan yang inklusif. Ke dalam kemahapemurahan itu saya tidak ditampik…”

***

Mohamad Ali Hisyam,

Dilahirkan di Pamekasan Madura, 27 Februari 1975. Aktif sebagai penulis lepas di berbagai media (antara lain Koran Tempo, Republika, Horison, Kompas, Gatra, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, dan lain-lain) serta sejumlah jurnal komunal dan antologi buku. Bapak satu orang anak ini pernah menjadi Koordinator pada Forum Nasional Pers Pesantren (FNPP). Kini hari-harinya dilaluinya sebagai peneliti dan pendidik di Universitas Trunojoyo Madura.

1 komentar:

edyfirmansyah mengatakan...

Secara pribadi saya juga mengagumi Nurcholis Madjid. Buku tentang Cak Nur yang berisi tentang pro dan kontra mengenai pemikiran Cak Nur yang terangkum dalam "Tharekat NUrcholisy (Pustaka Pelajar) juga pernah saya baca sampai habis.
Saya juga pengagum Abdurrahman Wahid (Gus Dur). otobiografinya yang ditulis Greg Berton juga pernah saya baca.
dan saya juga mengagumi persahabatan.